Rabu, 19 Juli 2017

Tato Dayak Ma'anyan (Ma'anyan Tattoo Tribe)?!




Tato Dayak Ma’anyan, Antara Ada dan Tiada?!
Oleh: Metusalakh Rizky Nayar



“tato tidak dipraktekkan” (Het tatoeëren is niet in gebruik):  Letnan C. Bangert,
(Bangert, 1857 dalam Indische Taal Land-en Volkenkunde (IX) 1860: 152-153).

Munculnya gairah pencarian atas kemungkinan adanya tato Dayak Ma’anyan merupakan akibat semangat kedaerahan dan persatuan Dayak di Kalimantan. Generalisasi Dayak, termasuk Ma’anyan yang “dipukul rata” berarti juga membuka kemungkinan Ma’anyan dianggap memiliki sejarah tradisi tato. Kemungkinan besar Dayak Ma’anyan tidak mempraktekkan tato sebagai keharusan dan adat-istiadat mereka. Meskipun tidak ditemukan informasi sejarah tato Dayak Ma’anyan, dewasa ini ada segelintir generasi muda Ma’anyan mencoba “menciptakan” motif-motif tato tertentu yang bernuansa tradisional dengan motif-motif ukiran yang umumnya ditemukan di Kalimantan. Motif-motif baru hasil cross culture tersebut kemudian memberikan warna kontribusi bagi tato Dayak Ma’anyan. Di sisi lain upaya anak-anak Ma’anyan tersebut patut dihargai, kreatifitas dan sumbangsih yang diberikan memperlihatkan bahwa mereka menaruh perhatian pada sesuatu yang tidak ada, tetapi dapat diciptakan menjadi ada...

1.      DAYAK
Kata Dayak pertama kali muncul pada tahun 1757 dalam tulisan J.D. van HohendorffRadicale Beschrijving van Banjermassing yang dipakai untuk menyebut orang-orang liar di pegunungan (1862: 188). Tampaknya, kata ini dipungutnya begitu saja dari cara orang-orang pantai menyebut orang pedalaman. J.A.Crawfurd dalam bukunya A Decriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Cauntries (1856: 127) menyatakan bahwa istilah Dyak digunakan oleh orang-orang Melayu untuk menunjukan ras liar yang tinggal di Sumatra, Sulawesi dan terutama di Kalimantan. Beberapa penulis menyatakan istilah Dayak kemungkinan berasal dari bahasa Melayu aja yang artinya penduduk pedalaman (boven beteekent) atau penduduk asli (native) (Adriani, 1912: 2; Schärer, 1946/1963:1; King, 1993:30).
Penamaan ini terus dipakai hingga kini seperti yang dilaporkan oleh Tania Li (2000: 25) bahwa pada masa kini, dalam administrasi resmi pemerintahan di Sulawesi, tetap menggunakan kata Dayak untuk menyebut suku-suku terasing-terkebelakang yang ada di wilayah pemerintahan mereka. Orang-orang Melayu pendatang menggunakan istilah Dayak secara general untuk menyebut penduduk pulau Kalimantan yang tidak beragama Islam. Dikemudian hari, dikotomi etnis berdasarkan paham religius yang berasal dari orang Melayu ini dipakai begitu saja oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan administrasi kependudukan, yaitu penduduk non muslim (Kristen atau Kaharingan) dikategorikan sebagai suku Dayak dan penduduk Muslim disebutnya sebagai suku Banjar (Mallinckrodt, 1928: I, 9).[1]
Pada awal abad 20, ketika semangat nasionalisme berhembus kuat di kepulauan nusantara yang ditandai dengan kebangkitan rasa kebangsaan. Kelompok terdidik Dayak, yang pada waktu itu sudah menduduki beberapa posisi di pemerintahan Belanda, tidak luput dari semangat ini. Mereka dengan sadar mengadopsi kata Dayak dan membangun kebanggaan diri menjadi orang Dayak. Pada tahun 1919 mereka mendirikan satu organisasi sosial politik berbasis etnis yang bernama Pakat Dayak atau Sarekat Dayak. Sejak saat itu, nama Dayak dipakai oleh orang Dayak sendiri sebagai nama generik untuk mempersatukan semua suku-suku di Kalimantan yang bukan Melayu atau Banjar. Identitas Dayak dipakai untuk memperjuangkan hak-hak sosial-politik, dibawa masuk ke pentas perjuangan politik nasional, sejajar dengan identitas lain. Sebelum Perang Dunia Kedua, sudah tampak ada sepuluh organisasi yang memakai nama Dayak.
Untuk membedakan diri dari suku-suku Dayak lainnya, misalnya Ngaju, Dusun, Lawangan, atau Ot Danum maka kata Dayak dijadikan prefiks, sehingga menjadi Dayak Ma’anyan. Begitu juga dengan suku-suku lain. Dengan demikian muncul penamaan baru yaitu Dayak Ma’anyan. Identitas ini dipakai hingga kini. Terminologi Dayak Ma’anyan telah diadopsi, dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Ma’anyan.[2]

2.      DAYAK MA’ANYAN
Sebelumnya, orang Ma’anyan tidak dikenal dengan istilah Dayak Ma’anyan atau Ma’anyan, seperti sekarang ini, melainkan dikategorikan masuk ke dalam Dayak Ngaju. Sekitar pertengahan abad 16, dalam literatur-literatur awal yang ditulis pada masa-masa awal kesultanan Islam Banjarmasin, misalnya Hikajat Banjar (Ras, 1968: 196; Hall, 1995: 489), Orang Ma’anyan juga disebut Biaju. Terminologi Biaju dipakai untuk menyebut nama sekelompok masyarakat, sungai, wilayah dan pola hidup (Ras, 1968: 336). Terminologi Biaju berasal dari bahasa orang Bakumpai, dengan mengacu kepada kata bi dan aju, yang artinya dari hulu atau dari udik.
Di kemudian hari, istilah ini dipungut begitu saja oleh orang Melayu Banjar untuk menyebut semua orang pedalaman hulu sungai yang tidak beragama Islam. Istilah ini kemudian diperkenalkan kepada para pedagang dari Cina, Inggris, Portugis yang berlabuh di pelabuhan Banjarmasin. Karena itu dalam catatan pelayaran para pedagang Cina, Portugis dan Inggris dapat ditemukan kata Biaju yang merujuk pada suku di pedalaman yang bukan orang Banjar dan tidak beragama Islam (Groeneveldt, 1880; Beckman 1718). Dalam Hikayat Cina Dinasti Ming (1368-1643), yakni catatan pelayaran para pedagang Cina ketika berlabuh di Banjarmasin, disebutkan tentang orang Beaju, yang dalam lafal Hokkian (Fujian) ditulis Be-oa-jiu (Groeneveldt 1876:106-107). Daniel Beeckman, seorang pelaut Inggris, Ketika mengunjungi Banjarmasin pada tahun 1718 (Beeckman, 1973: 43) melaporkan bahwa penduduk Banjarmasin saat itu terdiri dari orang Melayu atau Banjar dan orang Byajo. Dari catatan Beckman tampak bahwa pada abad ke-18 telah terjadi pembedaan antara Biaju dan Banjar. Ciri utama yang membedakan adalah bahasa dan agama. Orang Biaju tidak berbahasa Banjar dan tidak beragama Islam.[3]
Selanjutnya pada masa awal pemerintah kolonial Belanda di Banjarmasin, istilah Biaju dipungut begitu saja dan dipakai sebagai istilah teknis dalam tata administrasi kependudukan dan laporan-laporan. Karena itu dalam literatur-literatur dan arsip-arsip Belanda sebelum abad 19, istilah Biaju dipakai sebagai istilah generik atau kolektif. Biaju dipakai dalam pengertian Dayak secara umum, yang dipukul rata sebagai Ngaju, karena itu kata Ngaju, dalam literatur-literatur tersebut, juga bisa berarti orang Ma’anyan dan Bukit (Ave, 1972:185).[4] Generalisasi semacam ini tampak dari pembagian suku yang dipakai oleh Tjilik Riwut (1958). Karena memakai sumber-sumber sebelum Perang Dunia Kedua yang memang cenderung pada generalisasi (1958: 190, bdk. Nila Riwut 2003: 64-65), ia memasukkan suku Dayak Ma’anyan, Lawangan dan Dusun sebagai bagian dari Dayak Ngaju. Bahkan orang Dayak Meratus (yang terdapat di Tapin, Amandit, Labuan Amas, Alai, Pitap dan Balangan), Dayak Pasir yang terdapat di Kalimantan Timur, orang Dayak Tumon di sungai Lamandau, Batang Kawa dan Bulik, juga dimasukkannya sebagai bagian dari suku Dayak Ngaju. (1958: 184, bdk. 2003: 63).[5]
Hal serupa juga dapat dilihat dari laporan mengenai sketsa pulau Kalimantan pada tahun 1812 oleh J. Hunt dalam laporan Kapten The Hon. Henry Keppel. Ia menyebut orang-orang yang berada di Banjarmasin sebagai Biajus (Biaju).[6] Kamus Hindia Belanda dan laporan Geografis - Statistik pada tahun 1861 juga menyebut orang-orang Dayak di bagian Selatan dan pesisir Barat didefinisikan sebagai Beadjoe (Biaju).[7]
Selain istilah Biaju (Ngaju), istilah Dusun juga dipergunakan untuk merujuk orang Ma’anyan. Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Sungai Barito disebut juga sungai Dusun, meskipun nama Barito lebih tua karena telah disebutkan dalam keropak Jawa kuno, Negarakertagama (1365).[8] Istilah Dusun banyak digunakan sebagai rujukan untuk daerah Hulu Barito, terutama daerah yang didiami oleh kelompok-kelompok etnis Dayak Ma’anyan, Lawangan, serta Siang dan Murung, dan pada umumnya disebut dengan Dusun Timur, Dusun Hilir, Dusun Tengah dan Dusun Hulu.[9]
Penggolongan dan penyebutan Dusun tersebut juga tampak dalam laporan Sersan F. J. Hartman, mengenai deskripsi Banjarmasin (Banjareesche) dan sekitarnya  pada tahun 1790. Dalam perjalanannya ke daerah Muara Teweh melalui sungai Barito ia bertemu dengan orang Ma’anyan dan suku lainnya. Hartman mempergunakan istilah Doesonners (orang Dusun), untuk merujuk penduduk yang mendiami daerah di sekitar sungai Patai (Pattij), Karau (Karrouw), Siong (Siongsche)Mantellat, Benangin. Sedangkan daerahnya disebut sebagai Doesonsche (Dusun). Istilah tersebut juga  digunakan untuk menyebut penduduk yang mendiami daerah kampung Daya (Daja), Sangarasi-Jaar (Simpar Wassie), Mangkatip, Dayu, Balawa (Blawa), Karau (Karrauw), Poeloe Wanie, Trusan (Troessan), Buntok (Boendoek) , Muara Teweh (Morro Tewe) dan sekitarnya.[10]
Menurut J.Mallinckrodt (1927) orang Ma'anyan termasuk rumpun Ot Danum, tetapi kemudian teori tersebut dipatahkan oleh A.B Hudson pada tahun 1967 yang berpendapat bahwa orang Ma'anyan adalah cabang dari "Barito Family". Mereka disebut rumpun suku Dayak sehingga disebut juga Dayak Ma'anyan. Penggunaan istilah Ma’anyan sebenarnya sudah mulai dikenal dan dipergunakan pada tahun 1843-1847, tetapi agaknya istilah tersebut masih belum populer saat itu. Hal itu tampak dalam laporan penelitian Dr. Carl Anton Ludwig Maria Schwaner di sekitar sungai Barito dan beberapa sungai besar di Timur dan Selatan pulau Kalimantan. Schwaner juga mencatat kampung-kampung penduduk yang ditemuinya di wilayah sungai Patai, Siong, Karau dan sekitarnya. Ia menyebut Orang (atau OloMenja͜än, untuk merujuk penduduk Daijaksche (Dayak) yang berada di sekitar sungai Pattai (Patai), Siong dan Karrau (Karau). Menurutnya orang-orang di daerah sungai Patai dan Karau juga menyebut diri mereka sendiri dengan istilah Menja-an. Schwaner melaporkan Orang (atau Olo) Menja͜än, menempati daerah yang lebih rendah dari sungai Pattai dan Karrau menyebut diri mereka Menja-an, sedangkan bagian yang lebih tinggi di sekitar daerah sungai ini dihuni oleh orang Lawangan (Lewangan). Berdasarkan penampilan, bahasa, dan adat-istiadat mereka terdapat perbedaan dengan suku-suku Dayak (Daijaksche) lainnya. Umumnya mereka dan penduduk di daerah sungai Barito dan anak-anak sungai lainnya lebih lemah lembut dan damai-tidak suka berperang.[11]

A.B Hudson (1967)  berpendapat orang Ma'anyan cabang dari "Barito Family"

Sumber: The Padju Epat Ma'anjan Dajak in Historical Perspective
Author(s): Alfred B. Hudson
Source: Indonesia, No. 4 (Oct., 1967), pp. 8-42
Published by: Southeast Asia Program Publications at Cornell University


Schwaner menyebut Ma’anyan sebagai Menja-an C.A.L.M. Schwaner – Borneo vol. 1- Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland. Van het Gouvernement van Nederl: Indie gedaanin de Jaren 1843-1847. (Uitgegeven van wege het Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1853), vii, 99-102
Schwaner menyebut Ma’anyan sebagai Menja-an
C.A.L.M. Schwaner – Borneo vol. 1- Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland. Van het Gouvernement van Nederl: Indie gedaanin de Jaren 1843-1847. (Uitgegeven van wege het Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1853), vii, 99-102


Schwaner menyebut Ma’anyan sebagai Menja-an
C.A.L.M. Schwaner – Borneo vol. 1- Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland. Van het Gouvernement van Nederl: Indie gedaanin de Jaren 1843-1847. (Uitgegeven van wege het Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1853), vii, 99-102

Ling Roth, mengutip (dan menterjemahkan)Schwaner, menyebut Menyaan

Sumber: Henry Ling Roth - The Natives of Sarawak and British North Borneo, London: Truslove & Hanson (1896), Vol. II


Hal serupa tampak dalam laporan Letnan C. Bangert, (Bangert, 1857 dalam Indische Taal Land- en Volkenkunde (IX) 1860: 156, 173, 181, 216) dalam perjalannya ke daerah Dusun Hilir (Doessoen Ilir) bagian dalam pada tahun 1857,  juga menyinggung istilah Men-jaan. Selain istilah tersebut ia juga lebih sering mempergunakan istilah Sihongers, Pattijers, Duijoes, Karauw dan Djankongs, untuk merujuk orang-orang Ma’anyan di sekitar sungai Telang, Siong, Patai/ Sirau, Paku Karau dan sekitarnya.[12]

Selanjutnya terdapat tulisan C. Den Hamer tahun 1889, yang menyoroti klasifikasi linguistik/ bahasa suku-suku di Borneo, dan secara "tepat" Hamer menyebut istilah Maanjan (Maanyan red. dalam EYD), karena sebelumnya Schwaner dan Bangert agak kesulitan dalam pelafalan kata "Ma'anyan" sehingga mereka menyebut "Men'yaan." Hamer melaporkan dialek Maanjan (Ma'anyan) ditemukan di Dusun Timur (Oost Dusun) di tepi kiri Baritoe (Barito) dan juga di bagian Amoontai (Amuntai - Kalimantan Selatan). (C. den Hamer. 1889. Proeve eener vergelijkende woordenlijst van zes in de Z.O.~afdeeling van Borneo voorkomende taaltakken. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde XXXII, 455-486). 
Ironis, tulisan-tulisan yang lebih tua ternyata lebih tepat dalam mengklasifikasikan orang Ma'anyan / Ulun Ma'anyan ketimbang tulisan-tulisan yang lebih muda.



(C. den Hamer. 1889. Proeve eener vergelijkende woordenlijst van zes in de Z.O.~afdeeling van Borneo voorkomende taaltakken. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde XXXII, 455-486).

Mengenai asal-usul istilah Ma’anyan, masih belum ditemukan kepastiannya. Sutopo Ukit Bae dkk menyatakan ada beberapa pendapat mengenai asal kata Maanyan, yaitu: Menurut Ma’an Wada (tokoh Ma’ayan Paju Sapuluh), kata Ma’anyan berasal dari gabungan kata Ma yang artinya menggunakan adat, dan Anyan yang adalah nama raja terakhir dari kerajaan Nansarunai. Dengan demikian, arti kata Maanyan itu adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan adat Kerajaan Nansarunai (Ethnic State?). Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Maanyan merupakan gabungan kata Ma yang dapat diartikan paman atau bapak, dan Anyan yang adalah pemimpin suku sewaktu berimigrasi dari daratan Cina, sehingga arti kata Ma’anyan adalah Bapak Anyan. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa kata Ma’anyan itu berasal dari sebutan orang Biaju (Dayak Ngaju) ketika melihat orang-orang di kampung Tane Karangan Anyan itu selalu membakar kemenyan dalam setiap ritual adatnya. Karena itu mereka menyebutnya Oloh Manyan. Pendapat yang berbeda juga dikemukakan dalam buku Proyek Penelitian Sejarah dan Kebudayaan Daerah Kalimantan Tengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1977 – 1978. Dalam buku ini dinyatakan bahwa pengertian Maanyan itu berasal dari kata Ma yang artinya menuju, dan anyan yang artinya tanah datar. Jadi arti Maanyan itu adalah menuju atau pergi ke tanah datar.[13]
Menurut sejumlah peneliti dan tokoh Ma’anyan yang mencoba mendekati sejarah orang Ma’anyan bersumber dari data tanuhuien menurut sudut pandang sejarah modern, nama-nama perkampungan dalam tanuhuien merupakan penunjukkan secara mitologis terhadap perjalanan panjang kelompok migran dari Asia Kecil, yang merupakan cikal-bakal orang Ma’anyan. Dalam perjalanan panjang kelompok masyarakat tersebut singgah di berbagai tempat di Asia Tenggara, wilayah Nusantara dan akhirnya masuk ke Kalimantan Selatan.[14] Pembentukkan perkampungan Lilikumeah merupakan sejarah cikal-bakal kelompok orang Ma’anyan yang sudah berada si Kalimantan Selatan, demikian juga selanjutnya tempat-tempat lainnya dalam tanuhuien. Lilikumeah berada di KayutangiWatang Helang Ranu adalah Babirik atau Danau PanggangGunung Madu Dupa adalah Banjarbaru atau Gunung ApamGunung Madu Manyan adalah Gunung Keramaian, sementara Nansarunai terletak di Amuntai atau Banua Lawas.[15] Selain tempat-tempat tersebut, ada beberapa tempat lainnya di Kalimantan Selatan yang pernah didiami oleh orang Ma’anyan, antara lain daerah Tabalong (Waruken, Pangelak dan Dusun Deyah), daerah Hulu Sungai Utara (Halong, Pintap, Gunung Riwut), daerah Hulu Sungai Selatan (Loksado), dan daerah Hulu Sungai Tengah (Labuhan). Dalam perkembangan selanjutnya terjadi lagi perpindahan penduduk ke daerah Barito Timur dan sekitarnya sekarang ini. [16]



3.      TIDAK ADA TATO
Salah satu laporan lawas mengenai informasi tidak adanya praktek tato di kalangan orang Ma’anyan dapat ditemukan dalam laporan Letnan C. Bangert, dalam perjalannya ke daerah Dusun Hilir (Doessoen Ilir) bagian dalam pada tahun 1857 (Bangert, 1857 dalam Indische Taal Land- en Volkenkunde (IX) 1860: 156, 173, 181, 216). C. Banggert adalah seorang pejabat pemerintah Belanda, berpengkat letnan satu untuk wilayah Bakumpai dan Dusun Hilir yang berkedudukan di Marabahan. C. Bangert, juga merupakan pengurus sipil dari daerah Bakumpai yang memuat laporan perjalanan inspeksi dari Telang, Patai (dan Sirau), Dayu dan daerah di sungai Paku Karau pada sekitar tanggal 5-6 Juli 1857. C. Bangert juga adalah seorang Letnan pertama infanteri yang kemudian meninggal dalam suatu kerusuhan di Lontontoeor, pada tanggal 26 Desember 1859.[17]
Letnan C. Bangert, (Bangert, 1857 dalam Indische Taal Land- en Volkenkunde (IX) 1860: 156, 173, 181, 216) dalam perjalannya ke daerah orang-orang Ma’anyan di sekitar sungai Siong, melaorkan bahwa orang Dayak Ma’anyan di Siong memiliki banyak perbedaan dengan orang Dayak di Pulau Petak, baik dari penampilan, bahasa, adat dan tradisi. Orang Siong bertubuh biasa-biasa dan merupakan pekerja keras. Perempuan juga pekerja keras, seakan-akan mereka sebagai laki-laki, anak-anak juga demikian. Meskipun demikian menurutnya banyak ditemui orang-orang yang bertubuh relatif gemuk. Sebagian besar juga merupakan orang-orang tua. Sementara umumnya rupa laki-laki umumnya lebih elok dari perempuan. Pekerjaan orang Ma’anyan di Siong adalah berladang, sebagai penghasil padi. Mereka juga membuat jukung (perahu). Jukung-jukung tersebut  konon terkenal akan kualitasnya sehingga layak dijual di Martapura, Banjarmasin. Menurut Bangert, ratusan buah jukung dijual setiap tahunnya.
Menurutnya tato tidak dipraktekan (Het tatoeëren is niet in gebruik)[18] di kalangan orang Siong (Ma’anyan di Siong). Para laki-laki selalu dipersenjatai dengan parang, sumpit dan tombak dan para perempuan juga demikian, kerap terlihat membawa tombak ketika mereka melakukan perjalanan ke ladang. Kekayaan yang dimiliki berupa gong, baki, mangkuk dan barang pecah belah lainnya. Gong sangat banyak terlihat di sana. Bangert pernah melihat di beberapa rumah ada sekitar 200-an gong yang disandingkan bersama-sama. Apabila dinilai yang terbesar bernilai 100 Gulden, dan yang terkecil 6 sampai 8 Gulden. Gong dipasang dan digantung berjejer, ketika dibunyikan akan membentuk tangga nada tertentu secara harmonik.
Orang-orang Ma’anyan di Siong menurut  Bangert bukan pengayau – headhunter. Adat mereka pada umumnya sama dengan orang-orang Dayak kebanyakan, namun menurut Bangert lebih halus dan manusiawi. Tidak pernah ada perang yang terjadi selama beberapa generasi. Sementara kepala suku mereka haruslah seorang yang sudah tua dan merupakan penerus dari generasi yang dipilih sebelumnya (dinasti).[19]




Memang laporan Bangert hanya meliputi sekelompok kecil kelompok Ma’anyan, yakni kelompok Paju Epat yang diwakili kampung Siong, tetapi paling tidak dari laporannya ini memberikan secercah titik terang informasi bahwa orang Ma’anyan tidak bertato. Di sisi lain, dari laporannya tersebut juga memberikan tantangan kepada para pencari kemungkinan  tato Ma’anyan untuk memperluas cakrawala pencariannya terlepas dari salah satu kelompok Ma’anyan atau beberapa desa Ma’anyan saja.
Apabila orang Ma’anyan tidak mempraktekkan tradisi tato dalam adat-istiadatnya, bagaimana dengan suku-suku Dayak lainnya yang bertetangga dan berkerabat dengan orang Ma’anyan? Dayak Meratus di Kalimantan Selatan juga umumnya diketahui tidak mempraktekkan tato. Salah satu informasi lawas yang mendukung pernyataan tersebut adalah Carl Alfred Bock, dalam bukunya The Head-Huntees of  Borneo: A Narrative of Travel Up The Mahakkam and Down The Barito Also Joueneyings in Sumatra, vol. 2.[20]
Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong Norwegia kelahiran Kopenhagen, Denmark, pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879 selama enam bulan. Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur Jenderal Johan van Lansberge untuk melaporkan keberadaan suku-suku Dayak dan menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda. Hasil penjelajahannya di Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881, lengkap dengan 37 litografi dan ilustrasi.
Bock dalam catatannya telah berjumpa Dayak Long Wai, Dayak Long Wahou, Dayak Modang, Dayak Punan, “Orang Bukkit” dari Amontai, dan Dayak Tring. Orang Dayak Meratus, yang disebut Bock sebagai Orang Bukkit, juga menurutnya tidak mempraktekkan tato.[21] Selain Dayak Meratus, laporan Bock juga memuat informasi mengenai Dayak Tanjoengs (Tanjung/Tunjung ?) dan Benoa (Benuaq ?) yang juga tidak mempraktekkan tato sebagai keharusan. Menurut  Carl Bock, dalam bukunya The Head-Huntees of  Borneoorang Tanjoengs (Tanjung/Tunjung ?) tidak mempraktekan tato sebagai suatu keharusan atau kebiasaan, hanya ditemukan seorang dengan pola + (tanda tambah) pada bagian lengannya. Sedangkan pada orang Benoa (Benuaq ?) kebanyakan laki-lakinya semuanya memiliki tato dengan tanda kecil  berbentuk ͡  ·͡    (berupa dua buah gundukan atau lengkungan seperti busur dengan titik di tengahnya), baik itu di bagian kening, lengan atau kaki.[22]


Catatan Carl Bock tentang kemungkinan tato Dyaks Tandjoeng dan Benoa (Tanjung/ Tunjung dan Benuaq?) Sumber:  Carl Bock, The Head-Huntees of  Borneo, 130, 137-139.


Orang Dayak Ma’anyan tidak mempraktekkan tato sebagai keharusan dan adat-istiadat mereka. Kemungkinan juga berkaitan dengan tidak adanya tradisi “ngayau” atau memotong kepala, atau karena berbagai sebab lainnya. Akan tetapi tato teap dikenal oleh orang Ma’anyan, mereka menyebutnya “tutang.” Kemungkinan hal tersebut disebabkan mereka mendengar atau melihat tato suku-suku lain. Hal ini menjadi salah satu proses cross culture lintas suku-daerah yang tidak terelakkan. Perjalanan hidup menuntut perjalanan keluar-masuk daerah lain, begitupun sebaliknya.  
Meskipun tidak ditemukan informasi sejarah tato Dayak Ma’anyan, dewasa ini ada segelintir generasi muda Ma’anyan yang mencoba “menciptakan” motif-motif tato tertentu yang bernuansa tradisional dengan motif-motif ukiran dan keperkasaan kisah mitologi yang umumnya ditemukan di Kalimantan. Motif-motif baru hasil cross culture dan globalisasi tersebut kemudian memberikan warna kontribusi tersendiri. Di sisi lain upaya tersebut patut dihargai, kreatifitas dan sumbangsih yang diberikan memperlihatkan bahwa mereka menaruh perhatian pada sesuatu yang tidak ada, tetapi dapat diciptakan menjadi ada, meskipun dengan muatan nuansa yang berbeda dan diberi arti tersendiri serta milik sendiri sekaligus baru!


Custom Tattoo tradisional Dayak Ma'anyan "Para' Mangis" (bagian bawah buah manggis - biasa untuk tebak-tebakkan buah manggis),  Milik Peno Vijarawan Manggu (dgn izin ybs)

https://m.facebook.com/vijarawanp.otodidax
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10200872222563084&set=a.2997133062591&type=3&app=fbl

 (Bandingkan motif custom di atas dengan sepasang motif tattoo bahu laki-laki Dayak yang pada umumnya berbentuk bunga/kelopak bunga atau bintang dengan spiral atau lingkaran di tengahnya - mata aso/ tali nyawa) - dari berbagai sumber















Henry Ling Roth - The Natives of Sarawak and British North Borneo Vol.2(London: Truslove & Hanson, 1896), hal. 88
1 dan 2 Trong, pada dada laki-laki
Trong pada lengan dan dada laki-laki
6 tanpa informasi
Gambar tato dikirim oleh  Rev. F.W. Leggat di Sungai Sakaran




Aso (Kayan) 

Pada bagian tengah pola tato dari Sungai Kapuas Hulu


Pola tato laki-laki Berawan


Pola tato tanpa keterangan

Sumber: Henry Ling Roth - The Natives of Sarawak and British North Borneo Vol.2(London: Truslove & Hanson, 1896)


1 Jalaut or Mata Aso (Kayan) – Plukenetia corniculata


 
Jalaut (Kayan) – Plukenetia corniculata

Ipa Olim (Kenyah) – representing open fruit of a spesies of mango (Mangifera), tatued on breasts or shoulders of men.


 
Usong Dian (Kenyah) – representing the durian fruit, tatued on breasts or shoulders of men.


 





Jalaut (Kajaman?), tatued on breasts or shoulders of men.


Charles Hose, SC.D & Shelford M.A F.LS - Materials for a Study of Tatu in Borneo (The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland Vol. 36, Jan-Jun., 1906, pp. Ix+60-91)
Jalaut (Kayan) – Plukenetia corniculata
Plate viii
6 Barawan design for the shoulder or breast of man
Plate x
Ipa Olim (Kenyah) – representing open fruit of a spesies of mango (Mangifera), tatued on breasts or shoulders of men.
Plate xi
Usong Dian (Kenyah) – representing the durian fruit, tatued on breasts or shoulders of men.
Plate xii
Jalaut (Kajaman?), tatued on breasts or shoulders of men.




 
Ernest B. Haddon, " The Dog-motive in Bornean Art," (Journ. Anth. Inst., 1905), hal. 116
rosette (Bahau-Kenyah)
 


6 Buah Andu “The Andu” (?) (Iban) fruit – on the shoulder in front

16 Ringgit Saliliang (Iban) – on the chest or breasts

12 Tandan Buah “The Tandan” (?) (Iban) – Fruit - on the chest

11 Lukut (Iban) – on the point of the shoulders

14 Bunga Trong “The Trong (?)” (Iban)  – Flower - on the shoulder

 10 Buah Andu “The Andu” (?) (Iban) fruit – on the shoulder in front

William Henry Furness - The Home Life of Borneo Head-Hunters, (Philadelphia: J.B. Lippincott Company, 1902), hal. 390-391
6 Buah Andu “The Andu” (?) (Iban) fruit – on the shoulder in front
10 Buah Andu “The Andu” (?) (Iban) fruit – on the shoulder in front
11 Lukut (Iban) – on the point of the shoulders
14 Bunga Trong “The Trong (?)” (Iban)  – Flower - on the shoulder
12 Tandan Buah “The Tandan” (?) (Iban) – Fruit - on the chest
16 Ringgit Saliliang (Iban) – on the chest or breasts
 







Carl Lumholtz -Through Central Borneo: An Account of Two Years' Travel in the Land of Head-Hunters Between the Years 1913 and 1917 Volume II, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1920)
a, b, c, d, representation the durian in various phases. a, is the ripe durian one on each shoulder of a man. b,c,d, are young fruit, often seen one above each nipple
 

Tattoo bahu atau dada Kenyah
Sumber: Collections Pitt River Museum, Oxford (1923.86.195-440) didonasikan oleh Rajah Sarawak pada tahun 1923



Pola Tato Kayan, Mendalam
Sumber: Dr. A.W. Nieuwenhuis Quer durch Borneo - Ergebnisse seiner Reisen in den Jahren 1894, 1896–97 und 1898–1900 Erster Teil filestentang








Bunga Terong / Bungai Terung (Iban)


 (Bandingkan motif custom di atas dengan sepasang motif tattoo bahu laki-laki Dayak yang pada umumnya berbentuk bunga/kelopak bunga atau bintang dengan spiral atau lingkaran di tengahnya - mata aso/ tali nyawa) - dari berbagai sumber

Bliang scene am Pattaij By by Heinrich von Gaffron 1845. Royal Institute of Linguistics and Anthropology in Leiden by J.H. Moronier – ‘s – Gravenhege : Nijhoff, 1967 – p.29


Een Bilianfeest der Dayakkers van soengie Pattay by C. A. L. M. Schwaner, Borneo volume 2 - Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland. Van het Gouvernement van Nederl: Indie gedaanin de Jaren 1843-1847. (Uitgegeven van wege het Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1854)


Acient people playing a ritual ethnic dance in a big dark illuminated by torches. Dayak welcome fest to western people Borneo By by Lancon after Schwaner published on Le Touur du Monde Paris 1862

Ilustrasi Wadian dari daerah sungai Patai (salah satu kelompok Ma’anyan Kampung Sapuluh

Innere eines Daijakker Hauses am Karrau by Heinrich von Gaffron 1845. Royal Institute of Linguistics and Anthropology in Leiden by J.H. Moronier – ‘s – Gravenhege : Nijhoff, 1967 – p.29


Native Dayak people acient daily life in a hut. They get relaxing in a low indoor light. By Lancon after Duch colonies iconographic atlas published on Le Touur du Monde Paris 1862

Eene Dayaksvhe woning van binnen by C. A. L. M. Schwaner, Borneo volume 2

Dayak di daerah sungai Karau (umumnya Dayak Dusun, Ma'anyan, Lawangan - DUSMALA)



Eisenschmelze in den Doesson by Heinrich von Gaffron 1845. Royal Institute of Linguistics and Anthropology in Leiden by J.H. Moronier – ‘s – Gravenhege : Nijhoff, 1967 – p.30


Acient naked tribal people making a hut. Old illustration depicting Dayak people working in a forge  Borneo By by Lancon after Schwaner published on Le Touur du Monde Paris 1862



Eene Dayaksche ijzersmelteru aan de Barito by C. A. L. M. Schwaner, Borneo volume 1
 Sumber:  C.A.L.M. ShwanerBorneo  vol. 1 - Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland, (Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1853)


Orang Dayak di daerah sungai Barito sebagai pandai besi (blacksmith)





Sumber: Henry Ling Roth - The Natives of Sarawak and British North Borneo, London: Truslove & Hanson (1896), Vol. II






Tato orang Benoa (Benuaq ?) dan Tato orang Tanjoengs (Tanjung/Tunjung ?)




Tulisan C. Bangert (1857), dalam Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860)



Tulisan C. Bangert (1857), dalam Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860)



Informasi tentang C.Bangert dalam W.A. VAN REES - De Bandjermasinsche Krijg Van 1859-1863 Vol. 2, (_,1865,), 402.



Cover buku Schwaner – Borneo Vol.1
C.A.L.M. Schwaner – Borneo vol. 1- Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland. Van het Gouvernement van Nederl: Indie gedaanin de Jaren 1843-1847. (Uitgegeven van wege het Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1853)


Schwaner menyebut Ma’anyan sebagai Menja-an
C.A.L.M. Schwaner – Borneo vol. 1- Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland. Van het Gouvernement van Nederl: Indie gedaanin de Jaren 1843-1847. (Uitgegeven van wege het Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1853), vii, 99-102






Acient Borneo natives celebrating an exorcism indoor in a dark hut. Old illustration of Ot Danum people rite in Borneo By by Lancon after Schwaner published on Le Touur du Monde Paris 1862




Een Bilianfeest ter genezing eener zieke vrouwin de Doessoen by C. A. L. M. Schwaner, Borneo volume 2
 Sumber:  C.A.L.M. ShwanerBorneo  vol. 2 - Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland, (Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1854)


Ilustrasi Wadian Dusun yang sedang mengadakan ritual penyembuhan seorang perempuan sakit di daerah Dayak Dusun




Wadian Bawo orang Dayak Dusun, yang kemudian diadopsi oleh orang Dayak Ma’anyan. Wadian juga tidak bertato, namun umumnya membuat tanda tambah (+), tanda titik (.), atau tanda sama dengan (=) pada tubuhnya dengan menggunakan kapur sirih. Makna tanda-tanda tersebut patut dikaji lebih dalam lagi.
Sumber: Tropenmuseum



Wadian Bawo (sumber: Leiden Museum) 


Sumber: Henry Ling Roth - The Natives of Sarawak and British North Borneo, London: Truslove & Hanson (1896), Vol. II

Salah seorang Penatua Jemaat di Tamiang Layang 
Sumber: Mission 21

Sapi milik stasi missi Tamiang Layang 1920

Rumah stasi missi Tamiang Layang 1920

Rumah tua stasi missi Tamiang Layang 1920


Acara Pernikahan di daerah Tamiang Layang 1920



Sekolah Kristen Tamiang Layang 1925


Beberapa orang Ma'anyan yang baru dibaptis (1920)


Seusai ibadah di Tamiang Layang (1920)


Inspektur Wegner mengunjungi daerah Beto

Rumah missi tua di Tamiang Layang 1920

Albert Balantan, seorang guru di sebuah Rumah di tanah Ma'anyan


Sekolah Missi di Bamban 


Sumber : Mission 21 (M21)

Tiga orang laki-laki minum tuak di upacara kematian Ijambe/ Ijame  1898-1900 (sumber: Museum Volkenkunde (A10))

Minum Tuak (arak aren atau beras) yang dipersembahkan oleh roh (adiau atau adjoe) di Idjambé di Padjoe Empat 1898-1900 (sumber: Museum Volkenkunde (A10))






Tumpukan peti mati, di mana mayat Maänyan-Dayak dari Padjoe Empat (Paju Epat) untuk dibakar pada Idjambé (hari raya orang mati) di Balawa





Tumpukan kayu bakar di Maänyan-Dayak di Padjoe Empat, pada acara festival kematian (Idjambé)







Tambek (Tammak) di kuburan, di mana tulang-tulang yang telah dibersihkan (dibakar) ditempatkan setelah Idjambé


Seorang dukun Dajak sedang bekerja di Kalimantan


Seorang balian (ahli pengobatan dukun) Boentok (Buntok) (Doeson Barito-Dajaks) sedang mengerjakan pengobatan penyakit


Potret kelompok di depan rumah panggung Dajak, Moearatewe (Muara Teweh)


Potret bersama di patung kayu Dayak di Muearatewe (Muara Teweh red.)


Pondok Ladang dengan rumah sesaji di sungai di Doeson Timur


Pohon di hutan Doesoen Timur

Pengorbanan (ganti diri), persembahan dukun (balian) kepada roh yang membuat sakit penghuni kampung


Panungkoelans atau patung di pintu masuk sebuah kampung di Padjoe Empat, untuk menangkal penyakit dan pencuri 


Pangkal pohon lebah, pohon Koepang - Dusun Timur




Dermaga untuk rumah panjang Dayak di Sungai Barito, wilayah Moearatewe (Muara Teweh)


Kapten F. te Wechel sedang berpatroli di Boentok (Buntok)


Kapten F. te Wechel dengan Prajurit (polisi bersenjata) di Boentok (Buntok - Kab. Barito Selatan)


Goetji (Guci) dengan gumpalan tanah, di mana cairan mayat telah diambil 


Empatungs (panung-kulans) yang menangkal penyakit dan penjahat saat masuk Balawa (Desa Balawa - Kec. Paju Epat, Kab. Barito Timur)




Disiapkan prahu dalam bingkai, untuk mempertahankan bentuk saat dikeringkan Pohon dari mana proa dibuat terletak di belakang proa (Jukung orang Ma'anyan)



Bobohan dengan pakeh untuk menangkal kolera dari pintu masuk sebuah kampung di Doeson Timur (Maänjan) - Ma'anyan red.





Balai dengan rumah kawalik, sebuah rumah dimana seorang laki-laki akan dikorbankan, di Belawa (Padjoe Empat), pada saat Idjambé (kremasi)
(Desa Balawa - Kec. Paju Epat, Kab. Barito Timur)


Sumber: Museum Volkenkunde Belanda






Sampatung di tepi sungai Telang 1860-1920
 (sumber: Museum Volkenkunde)






Sekelompok orang di jembatan hantu saat uacara kematian Ijambe/Ijame di Balawa 1898-1900 
 (sumber: Museum Volkenkunde)




Peta di sekitar daerah orang Ma'anyan

6. Maanjan Dajak, sibuk mengolah serat tengan liana menjadi tali pusat


Sungai di kampung Buntok

Perahu di sungai Raren


10. Lurah dan kepala desa Dayak di depan rumah PNS di Buntok (bersama Kapten F. te Wechel). 


13. Panunkulan Djin di Murutuwu.

Daerah di Dusun Timur


Patung di kampung Patung


Sungai Ayuh



Sumber: Volkenkunde Museum

Wadian Bawo

Wadian Dadas 

Tari Giring-giring

Wadian Bawo


Wadian Amunrahu

Seser bunser, dalam tarian Giring-giring

Wadian Tapu' onrou 

Gadis-gadis muda menari Tarian Bahalai/ Selendang





Sumber: Some Observations on Dance in Kalimantan
Author(s): Judith M. HudsonSource: Indonesia, No. 12 (Oct., 1971), pp. 132-150
Published by: Southeast Asia Program Publications at Cornell University

Pasar di Telang tahun 1963

Sumber: Letters from Kalimantan
Author(s): Judith M. Hudson
Source: Indonesia, No. 1 (Apr., 1966), pp. 76-88
Published by: Southeast Asia Program Publications at Cornell University

Dua Perempuan muuda Ma’anyan di Tanjung (?) (Sumber: Tropenmuseum)
Ada keraguan penulis mengenai informasi ini, karena anting (lebih tepatnya pierching besar) yang tidak umum ditemukan pada orang Ma’anyan


Gambar yang berasal dari internet yang umumnya menyatakan sebagai “Orang Ma’anyan tempo dulu” namun tidak ada bukti atau sumber valid yang menguatkannya (entah dari mana referensi foto tsb, namun foto tsb laris berselancar di google diklaim sebagai Maanyan tempo doeloe). Sumber: Google. 
Keraguan penulis juga mengingat anting besar yang dikenakan seorang anak pada gambar tidak umum ditemukan pada orang Ma’anyan. Selain itu karekteristik  orang-orang yang ada dalam foto berbeda jauh dengan foto-foto orang Ma'anyan yang pernah direkam dalam gambar orang-orang Barat yang memiliki kamera, atau sketsa gambar mereka. Bila kita perhatikan, karakteristik foto/ sketsa orang Ma'anyan pada masa itu umumnya memakai "lawung" sejenis penutup kepala dari kain yang dibalut pada kepala. Karakteristik laporan foto tersebut tentunya berbeda dengan orang-orang Dayak lainnya, yang di-generalisir memakai aksesoris bulu burung enggang/ sejenis, berambut panjang dengan poni bergaya "cin-chia-lu" seperti potongan tempurung kelapa dibelah, memiliki kuping panjang, menyandang mandau-tombak dan perisai, serta mempunyai tattoo/ tutang. Penggolongan tersebut bisa saja terlalu memukul rata. (mohon maaf bila saya keliru dan sok akademis, namun maksud saya adalah agar kita tidak asbun tanpa referensi yang jelas dan hanya "mahayami" -  jago bicara dulu, bukti tidak terlalu penting urusan kemudian).


Agaknya gambar di atas memiliki kesamaan dengan gambar ini, tentu saja gambar tersebut diklaim bukanlah gambar orang Ma'anyan.









Gambar dari www.mytribalworld.com yang menduga sebagai orang M’anyan. Namun aksesoris yang digunakan tidak memperkuat dugaan tersebut, malah lebih mengarah kepada orang Dayak Ngaju. Lihat pada bagian bawah aksesoris yang digunakan.


Orang Dayak Ngaju. Sumber: Carl Lumholtz, Through Central Borneo - An Account of Two Years Travel in The Land of The Head-Hunters Between The Years 1913 and 1917, (New York: Charle Scribner’s Songs, 1920), Volume 2,

Orang Dayak Ngaju. Sumber: Mission 21






Cover buku Carl Bock – The Headhunter of Borneo Vol. 2.


 

Informasi Dayak “Bukkit” tidak bertato dari buku Carl Bock – The Headhunter of Borneo Vol. 2.



Ilustrasi Orang “Bukkit” (Dayak Meratus) tanpa tato, dari buku Carl Bock – The Headhunter of Borneo Vol. 2.


Catatan Carl Bock tentang kemungkinan tato Dyaks Tandjoeng dan Benoa (Tanjung/ Tunjung dan Benuaq?) Sumber:  Carl Bock, The Head-Huntees of  Borneo, 130, 137-139.




Orang Ma'anyan di Beto?
H. Sundermann, Unter den Dajakken auf Beto Tameanglajang; Gründung der Station Beto 1899)


Agaknya gambar sebelumnya bukanlah gambar ulun Ma'anyan, melainkan gambar Dayak di Sarrawak menurut laporan Charles Brooke (1866) dalam Ten YeArs in Sarawak dan Photograph Pitt River Museum, Oxford (B29/11d) (1870an)







[1] Marko Mahin, Kaharingan-Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah, Depok: Disertasi Doktoral Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, 2009, 132-137
[2] Ibid, 136-138
[3] Ibid, 129
[4] Ibid, 131
[5] Ibid, 132
[6] J. Hunt, E sq. In Captain The Hon. Henry Keppel, R.N, Sketch of Borneo, or Pulo Kalamantan, - The Expedition to Borneo of H M S Dido Vol.2, (New York: Harper & Brothers Publishing, Franklin Square, 1855), 381-382.
[7] _, Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie 1 bewerkt naar de jongste en beste berigten. A-J (Amsterdam, P. N. Van Kampen, 1861) 253-254
[8] Daerah-daerah taklukan Majapahit disebutkan: Negara-negara di pulau Tanjungnegara: Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura. Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
Lih.http://kidemang.com/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id=28&Itemid=697 5
[9] Pendapat tersebut didasarkan dari tulisan H.E.D. Engelhard, De Afdeling Doessonlanden: Zuider en Ooster-Afdeling van Borneo (Jurnal Colonial Netherland Indies, 1901). 181-222. Lih. Hadi Saputra Miter, Amirue dan Roh Kudus – Sejarah Perjumpaan Ulun Ma’anyan Dengan Kekristenan, (Kalimantan Timur: Yayasan Rumah Sastra Korrie Layun Rampan (YRSKLR), 2015), 1-2
[10] F. J. Hartman, Journaal Van Een Tocht Naar de Banjersche Bovenlanden in 1790 (Kronijk van Het Historisch Genootschap, Utrecht, Kemink En Zoon, 1864), 367-369
[11] Lih. C.A.L.M. Schwaner – Borneo vol. 1- Beschrijving van het stroomgebied van den Barito en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-Oostelijk gedeelte van dat eiland. Van het Gouvernement van Nederl: Indie gedaanin de Jaren 1843-1847. (Uitgegeven van wege het Koninklijke Instituut vor de taal-land en volkenkunde van Nêer: Indië.  Te Amsterdam, nij P.N. Van Kampen. 1853), vii, 99-102
[12] C. Bangert (1857), Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860), 156, 173, 181, 216
C. Banggert adalah seorang pejabat pemerintah Belanda, berpengkat letnan satu, untuk wilayah Bakumpai dan Dusun Hilir yang berkedudukan di Marabahan. C. Bangert, juga merupakan pengurus sipil dari daerah Bakumpai yang memuat laporan perjalanan inspeksi dari Telang, Patai (atau Sirau), Dayu dan sungai Paku Karau pada sekitar tanggal 5-6 Juli 1857. C. Bangert juga adalah seorang Letnan pertama infanteri yang kemudian meninggal dalam suatu kerusuhan di Lontontoeor, pada tanggal 26 Desember 1859. lih. Alfred Bacon Hudson, Padju Epat: The Ethnography And Social Structure Of A Ma'anjan Dayak Group In Southeastern Borneo (Michigan USA: University Microfilm 1967), 553, dan W.A. VAN REES - De bandjermasinsche krijg van 1859-1863 met portretten Vol. 2, (_,1865,), 402.
[13] Rama Tulus P, Agama Sebagai Identitas Sosial - Studi Sosiologis Agama Terhadap Komunitas Ma’anyan, Salatiga: Disertasi Doktoral Universitas Kristen Satya Wancana, 2010, 79
[14]  Bdk. Keloso S. Ugak, Mengembangkan Konsep Anugerah Untuk Membangun Teologi yang Rekonsiliatif di dalam masyarakat Dayak, (disampaikan dalam orasi Dies Natalis STT GKE ke-81), Februari 2013, 23
[15]  Ibid
[16]  Ibid, 24-25
[17]  lih. Alfred Bacon Hudson, Padju Epat: The Ethnography And Social Structure Of A Ma'anjan Dayak Group In Southeastern Borneo (Michigan USA: University Microfilm 1967), 553, dan W.A. VAN REES - De Bandjermasinsche Krijg Van 1859-1863 Vol. 2, (_,1865,), 402.
[18]  Bangert, 1857 dalam Indische Taal Land-en Volkenkunde (IX) 1860: 152-153
[19] C. Bangert (1857), Verslag der reis in de binnenwaarts gelegene streken van Doessoen Ilir, (Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (IX), 1860), 156, 173, 181, 216
[20] Carl Bock, The Head-Huntees of  Borneo: a Narrative of Travel Up The Mahakkam and Down The Barito also Joueneyings in Sumatra, vol. 2, (London: Sampson Low, Marston, Searle, Rivington,1882), 67, 130, 139.
[21] Carl Bock, The Head-Huntees of  Borneo, 244
[22] Carl Bock, The Head-Huntees of  Borneo: a Narrative of Travel Up The Mahakkam and Down The Barito also Joueneyings in Sumatra, vol. 2, (London: Sampson Low, Marston, Searle, Rivington,1882), 67, 130, 139.


Update 4 Desember 2019 - Selamat Menyongsong Hari Natal. God Bless... 


Tato Dayak Ma'anyan (Ma'anyan Tattoo Tribe)?!

Tato Dayak Ma’anyan,  Antara Ada dan Tiada?! Oleh: Metusalakh Rizky Nayar “tato tidak dipraktekkan”   ( Het tatoeëren is niet in gebruik ) ...